Senin, 14 Januari 2019

JUAL BELI DAN PAPARANNYA


ARTIKEL TENTANG JUAL BELI



                                                    


Pengertian jual beli
            Jual beli adalah persetujuan saling mengikat antara penjual, yaitu pihak yang menyerahkan barang, dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga barang yang dijual. Jual beli merupakan perbuatan yang diperbolehkan Allah Swt. Hal ini berdasarkan dalil berikut.
       A.    Rukun Jual Beli
            Rukun jual beli meliputi penjual dan pembeli, benda yang dijual atau dibeli, serta ijab kabul.
1.      Penjual dan Pembeli
                    Syarat penjual dan pembeli adalah akil (berakal sehat); balig (dewasa); atas kehendak sendiri.
2.      Benda yang Dijual atau Dibeli
                   Syarat benda yang dijual atau dibeli adalah sebagai berikut.
·         Benda tersebut dalam keadaan suci. Oleh karena itu, anjing dan babi tidak boleh diperjual belikan karena najis.
·         Benda tersebut memberi manfaat.
·         Benda tersebut dapat diserahkan kepada pembeli. Benda yang tidak dapat diserahkan tidak boleh diperjualbelikan, seperti ikan di laut dan burung yang terbang di udara.
·         Barang tersebut merupakan kepunyaan penjual, orang yang diwakilinya, atau orang yang mengusahakannya.
·         Barang tersebut diketahui oleh penjual dan pembeli, baik zat, bentuk, kadar (ukuran), maupun sifat-sifatnya.
3.      ljab Kabul
                     Ijab adalah perkataan penjual. Misalnya, “Saya jual barang ini dengan harga sekian.” Kabul adalah perkataan pembeli. Misalnya, “Saya beli barang ini dengan harga sekian.”

B. Definisi, Klasifikasi, Pembagian dan Syarat Jual Beli
                               
         
a       a)      JUAL BELI DAN HUKUM-HUKUMNYA
            Perdagangan adalah jual beli dengan tujuan untuk mencari keuntungan. Penjualan merupakan transaksi paling kuat dalam dunia perniagaan bahkan secara umum adalah bagian yang terpenting dalam aktivitas usaha. Kalau asal dari jual beli adalah disyariatkan, sesungguhnya di antara bentuk jual beli ada juga yang diharamkan dan ada juga yang diperselisihkan hukumnya. Oleh sebab itu, menjadi satu kewajiban bagi seorang usahawan muslim untuk mengenal hal-hal yang menentukan sahnya usaha jual beli tersebut, dan mengenal mana yang halal dan mana yang haram dari kegiatan itu, sehingga ia betul-betul mengerti perso-alan. Dalam pembahasan ini penulis akan memaparkan beberapa persoalan yang berkaitan dengan masalah jual beli. Mari kita mengikuti pembahasan berikut ini:
         b)      DEFINISI JUAL-BELI
            Jual beli secara etimologis artinya: Menukar harta dengan harta. Secara terminologis artinya: Transaksi penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan. Sengaja diberi pengecualian “fasilitas” dan “kenikmatan”, agar tidak termasuk di dalamnya pe-nyewaan dan menikah.
             Jual beli adalah dua kata yang saling berlawanan Martina, namun masing-masing sering digunakan untuk arti kata yang lain secara bergantian. Oleh sebab itu, masing-masing dalam akad transaksi disebut sebagai pembeli dan penjual. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dua orang yang berjual beli memiliki hak untuk menentukan pilihan, sebelum mereka berpindah dari lokasi jual beli.” Akan tetapi bila disebutkan secara umum, yang terbetik dalam hak adalah bahwa kata penjual diperuntukkan kepada orang yang mengeluarkan barang dagangan. Sementara pembeli adalah orang yang mengeluarkan bayaran. Penjual adalah yang mengeluarkan barang miliknya. Sementara pembeli adalah orang yang menjadikan barang itu miliknya dengan kompensasi pembayaran.
         c)      DISYARIATKANNYA JUAL-BELI
            Jual beli disyariatkan berdasarkan konsensus kaum mus-limin. Karena kehidupan umat menusia tidak bisa tegak tanpa adanya jual beli. Allah berfirman:
“Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba..” (Al-Baqarah: 275).
          d)     KLASIFIKASI JUAL BELI
            Jual beli diklasifikasikan dalam banyak pembagian dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Kami akan menyebutkan sebagian di antara pembagian tersebut:
  •     Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Objek Dagangan

        Ditinjau dari sisi ini jual beli dibagi menjadi tiga jenis: Pertama: Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang. Kedua: Jual beli ash-sharf atau Money Changer, yakni penukaran uang dengan uang. Ketiga: Jual beli muqayadhah atau barter. Yakni menukar barang dengan barang.
  • . Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Cara Standarisasi Harga

a). Jual beli Bargainal (Tawar-menawar). Yakni jual beli di mana penjual tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya.
b). Jual beli amanah. Yakni jual beli di mana penjual mem-beritahukan harga modal jualannya.                         Dengan dasar jual beli ini, jenis jual beli tersebut terbagi lain menjadi tiga jenis lain:
Jual beli murabahah. Yakni jual beli dengan modal dan ke-untungan yang diketahui.
Jual beli wadhi”ah. yakni jual dengan harga di bawah modal dan jumlah kerugian yang diketahui.
Jual beli tauliyah. Yakni jual beli dengan menjual barang dalam harga modal, tanpa keuntungan dan kerugian.
Sebagian ahli fiqih menambahkan lagi jenis jual beli yaitu jual beli isyrak dan mustarsal. Isyrak adalah menjual sebagian barang dengan sebagian uang bayaran. Sedang jual beli mustarsal adalah jual beli dengan harga pasar. Mustarsil adalah orang lugu yang tidak mengerti harga dan tawar menawar.
c). Jual beli muzayadah (lelang). Yakni jual beli dengan cara penjual menawarkan barang dagangannya, lalu para pembeli saling menawar dengan menambah jumlah pembayaran dari pembeli sebelumnya, lalu si penjual akan menjual dengan harga tertinggi dari para pembeli tersebut.
Kebalikannya disebut dengan jual beli munaqadhah (obral). Yakni si pembeli menawarkan diri untuk membeli barang dengan kriteria tertentu, lalu para penjual berlomba menawarkan dagang-annya, kemudian si pembeli akan membeli dengan harga ter-murah yang mereka tawarkan.

3. Pembagian Jual Beli Dilihat dari Cara Pembayaran

Ditinjau dari sisi ini, jual beli terbagi menjadi empat bagian:
  • Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung.
  • Jual beli dengan pembayaran tertunda.
  • Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
  • Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.
           
                        


C. SYARAT-SYARAT SAH JUAL BELI
      Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat, harus direalisasikan beberapa syaratnya terlebih dahulu. Ada yang berkaitan dengan pihak penjual dan pembeli, dan ada kaitan dengan objek yang diperjual-belikan.
       Pertama: Yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki kompetensi dalam melakukan aktivitas itu, yakni dengan kondisi yang sudah akil baligh serta berkemampuan memilih. Tidak sah transaksi yang dilakukan anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang yang dipaksa.
Kedua: Yang berkaitan dengan objek jual belinya, yakni sebagai berikut:
a. Objek jual beli tersebut harus suci, bermanfaat, bisa dise-rahterimakan, dan merupakan milik penuh salah satu pihak.
            Tidak sah menjualbelikan barang najis atau barang haram seperti darah, bangkai dan daging babi. Karena benda-benda ter-sebut menurut syariat tidak dapat digunakan. Di antara bangkai tidak ada yang dikecualikan selain ikan dan belalang. Dari jenis darah juga tidak ada yang dikecualikan selain hati (lever) dan limpa, karena ada dalil yang mengindikasikan demikian.
        Juga tidak sah menjual barang yang belum menjadi hak milik, karena ada dalil yang menunjukkan larangan terhadap itu. Tidak ada pengecualian, melainkan dalam jual beli as-Salm. Yakni sejenis jual beli dengan menjual barang yang digambarkan kri-terianya secara jelas dalam kepemilikan, dibayar dimuka, yakni dibayar terlebih dahulu tetapi barang diserahterimakan bela-kangan. Karena ada dalil yang menjelaskan disyariatkannya jual beli ini.
            Tidak sah juga menjual barang yang tidak ada atau yang ber-ada di luar kemampuan penjual untuk menyerahkannya seperti menjual Malaqih, Madhamin atau menjual ikan yang masih dalam air, burung yang masih terbang di udara dan sejenisnya. Malaqih adalah anak yang masih dalam tulang sulbi pejantan. Sementara madhamin adalah anak yang masih dalam tulang dada hewan be-tina.
            Adapun jual beli fudhuliy yakni orang yang bukan pemilik barang juga bukan orang yang diberi kuasa, menjual barang milik orang lain, padahal tidak ada pemberian surat kuasa dari pemilik barang. Ada perbedaan pendapat tentang jual beli jenis ini. Na-mun yang benar adalah tergantung izin dari pemilik barang.
b. Mengetahui objek yang diperjualbelikan dan juga pemba-yarannya, agar tidak terkena faktor “ketidaktahuan” yang bisa termasuk “menjual kucing dalam karung”, karena itu dilarang.
c. Tidak memberikan batasan waktu. Tidak sah menjual barang untuk jangka masa tertentu yang diketahui atau tidak di-ketahui. Seperti orang yang menjual rumahnya kepada orang lain dengan syarat apabila sudah dibayar, maka jual beli itu diba-talkan. Itu disebut dengan “jual beli pelunasan”.

sumber artikel : https://www.hipwee.com>tag>jual-beli>islami

diposting oleh : Muhamad Ripki Azizi 

Rabu, 09 Januari 2019

MAKALAH
JABARIYAH DAN QADARIYAH
“Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam”







Dosen Pengampu :
Drs. H. Zainuddin Fatchy

Disusun oleh:
Laelatul Khusna
Febrian Restu Setiani

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BAKTI NEGARA TEGAL
PROGRAM S1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2017

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr.Wb

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Swt yang telah menganugerahkah kenikmatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan sebaik– baiknya. Shalawat serta salam semoga Allah tetap mencurahkan kepada rasulNya Muhammad SAW beserta keluarganya yang telah rela dan memperjuangkan agama Allah SWT.
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang “Jabariyah dan Qodariyah”. Semoga apa yang ada dalam makalah ini dapat memberi manfaat kepada para pembaca.
Penulisan makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan dan dukungan pihak-pihak tertentu. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
Drs. H. Badrodin, M.SI selaku Ketua STAIBN Tegal
H. M. Shobirin, M.Pd.I selaku Ketua Program Studi PAI STAIBN Tegal
Drs. H. Zainuddin Fatchy selaku Dosen Pengampu Ilmu Kalam STAIBN Tegal
Pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu
Di akhir kata sebagai manusia penulis tak luput dari kekhilafan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini, maka penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya dan penulis mengharapkan pula adanya kritik dan saran dari para pembaca sekalian.
Wassalamu’alaikum wr.wb

Slawi,        Oktober 2017


Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB 1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan 2
Manfaat 3
BAB II PEMBAHASAN
Jabariyah 4
Asal Usul Pertumbuhan Jabariyah 4
Para Pembuka Jabariyah dan Doktrin-Dokrinnya 6
 Qodariyah 10
Asal Usul Kemunculan Qodariyah 10
Doktrin-Doktrin Qodariyah 12
BAB III PENUTUP
Kesimpulan 15
B. Saran 15
DAFTAR PUSTAKA 17








BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam berbagai disiplin ilmu keislaman, ilmu kalam merupakan suatu objek pembahasan yang mendapat sorotan dan menjadi perdebatan dikalangan ulama dikarenakan pemikiran mereka yang beragam namun dibalik semua itu kita sebagai manusia dianugerahi akal sebagai instrumen berfikir oleh Allah, tidak sepatutnyalah kita saling bercerai-berai karena perbedaan yang lahir dari kita sendiri. Untuk itu kami disini sebagai oleh dosen pengampu ilmu kalam akan mencoba menjelaskan tentang dua aliran besar yaitu Jabariyyah dan Qodariyyah, dimana keduanya membahas masalah perbuatan manusia, namun mempunyai perbedaan dalam penentuan hasil perbuatan itu, apakah manusia mempunyai kebebasan sepenuhnya atau ada campur tangan Tuhan.
Seacara garis besarnya bahwa adapun jabariyyah menganngap bahwa manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak mempunyai kemampuan untuk memilih. Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada hakikatnya adalah dari Allah SWT semata. Sedangkan qodariyyah justru sebaliknya dari aliran jabariyyah yaitu menganggap bahwa dalam berbuat manusia mempunyai qudrah atas kehendak bebas tanpa adanya campur tangan Tuhan.
Sejak awal permasalahan teoligis umat islam telah terjadi perbedaan dalam bentuk praktis maupun teoritis.perbedaan tersebut tampak melalui perdebatan dalam masalah kalam yang akhirnya menimbulkan berbagai aliran-aliran dalam islam.dalam perdebatan tentang teologi ini yang diperdebatkan bukanlah akidak-akidah pokok seperti iman kepada Allah,kepada malaikat dan lain sebaigainya,melainkan perdebatan masalah akidah cabang yang membahas bagaimana sifat Allah,Al-quran itu baru ataukah Qadim,malaikat itu termasuk golongan jin atau bukan, dan hal-hal yang berkaitan dengan itu.
Perbedaan tersebut akhirnya menimbulkan berbagai macam aliran diantaranya seperti khowarij,syiah,murijiah,mu’tazilah,jabariyah dan qodariyah,asy’ariyah dan maturidiyyah. Dalam bab ini kita akan membahas sedikit banyak tentang aliran qadariyah dan jabariyah yang juga timbul dari akibat adanya permasalahan-permasalahan kalam.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, akan dibahas lebih lanjut mengenai :
Apakah yang dimaksud dengan jabariyah dan qodariyah?
Bagaimana awal mula terbentuknya aliran jabariyah dan qodariyah?
Sebutkan tokoh-tokoh aliran jabariyah dan qodariyah?
Apa doktrin-doktrin dari aliran jabariyah dan qodariyah?

1.3 Tujuan
Setiap makalah pasti mempunyai tujuan masing-masing. Begitupula pada makalah yang berjudul “Jabariyah dan Qodariyah”.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
Untuk mengetahui pengertian jabariyah dan qodariyah
Untuk mengetahui bagaimana awal mula terbentuknya aliran jabariyah dan qodariyah?
Untuk mengetahui tokoh-tokoh aliran jabriyah dan qodariyah
Untuk mengetahui apa doktrin-doktrin dari aliran jabariyah dan qodariyah?


Manfaat
Semoga makalah ini dapat bermanfaat. Pada penulisan makalah yang berjudul “Jabariyah dan Qodariyah” mempunyai beberapa manfaat.
Adapun manfaat makalah ini adalah :
Memberikan wawasan kepada masyarakat akan Aliran Jabariyah dan Qodariyah
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam
















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Jabariyah
1. Asal-Usul Pertumbuhan Jabariyah
Kata jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijesakan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu”Kalau diKatakan, Allah mempunyai sifat Al-Jabbar (dalam bentuk mubalaghah). Itu artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan al-insan majbur (bentuk isim maj’ui) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya kata jabara(bentuk pertama), setelah ditarik menjadi jabariyah (dengan menambah ya nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme), lebih lanjut Asy-Syahiatsan menegaskan bahawa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti sesungguhnya dan menyadarkannya kepada Allah, Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa inggris. Jabariyah disebut falalisme atau predestination, yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula Oleh qadha dan qadar Tuhan.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai asal-usul kemunculan dan perkembangan Jabariyah. Perlu dijelaskan mengenai orang yang melahirkan dan menyebar luaskan faham al-jabar dan dalam situasi apa saja faham ini muncul.
Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dihram kemudian disebarkan oleh jahm bin Shafwan dari Khurusan. Dalam sejarah teologi islam Jahm tercatat sebagai toko yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah, la adalah sekertaris Suraih bin Al- Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar.
Mengenai kemunculan faham al-jabar ini,para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Diantara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkun oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar kedalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepad alam sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri ,mereka mersa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya meraka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka kepada sikap fatalism.
Sebenarnya benih-benih faham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh di atas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini.
Sesuatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut. Agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir
Khalifah Umar bin Khathab pernah menangkap seorang  yang ketahuan mencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata”Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua Hukuman dera karena menggunakan dalil takdir tuhan.

Khalifah Ali bin Abi Thalib sesuai perang Shiffin ditanya oleh seorang tua tentang qadar (Ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu bertanya, ‘’ Bila perjalanan (menuju perang shiffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan,tak ada pahala sebagai balasannya.’’ Ali menjelaskan bahwa qadha dan qadar bukanlah paksaan Tuhan. Ada pahala dan siksa, gugur pulah makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik.
Pada pemerintahan Daulah Bani Umayah,pandangan tentang al-jabar semakin mencuat ke permukaan Abdulilah bin Abbas, melalui suratnya, memberikan reaksi keras kepada penduduk Syiria yang diduga berfaham jabariyah.
Peparah  diatas menjelaskan bahwa bibit faham al-jabar telah muncul sejak awal periode islam. Namun al-jabar sebagai suatu pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru menjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayah, yakni oleh kedua tokoh yang telah disebutkan diatas.’’
Berkaitan dengan kemunculan aliran jabariyah ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit, Namun tanpa pengaruh asing itu, faham al-jabar akan muncul juga di kalangan umat islam. Di dalam Al-Qura’an sendiri terdapat ayat ayat yang dapat menimbulkan faham ini,
Para pembuka Jabariyah dan Doktorin-Doktorinnya
Menurut Asy-syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian,ekstrim dan moderat diantara dokterin Jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Missalnya, kalau seseorang mencuri, tetapi timbul karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Diantara pemuka jabariyah ekstrim adalah berikut ini.
Jahm bin Shofwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia berasal dari Khurusan, bertempat tinggal di Khufah; ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator); ia menjabat sebagai sekertaris Harits di Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama.
Sebagai seorang penganut dan penyebar faham Jabariyah, banyak usaha yang dilakukan Jahm yang tersebar ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidzi dan Balk.
Pendapat jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebaigai berikut.
Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak memiliki pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih terkenal disbanding dengan pendapatnya tentang surge dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan. Meniadakan sifat Tuhan (nahyu as-sifat), dan melihat Tuhan di akhirat.
Surga dan neraka tidak lekal, tidak ada yang kekal selain Tuhan.
Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini pendapatnya sama dengan konsep iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah Maha suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara. Mendengar mata dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.
Dengan demikian, dalam benerapa hal, pendapat Jham hamper sama dengan Murji’ah, Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Itulah sebabnya para pengkritik dan sejarawan menyebutnya dengan Al-Mu’tazilah, Al-Murji;I dan Al-Asy’ari.
Ja’d bin Dirham
Al-ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan didalam lingkungan orang Keristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar dilingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontrolversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudian Al-Ja’d lari ke Kufah dan disana ia bertemu dengan Jahm, serta mentrasfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan di sebar luaskan.
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskan sebagai beriku.
Al-quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu dia baru, sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.
Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk. Seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda dengan jabariyah ekstrim. Jabaruyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam   diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisitin). Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang di ciptakan Tuhan.
Yang termasuk tokoh Jabariyah moderat adalah berikut ini.
An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 230H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Di antara pendapat-pendapatnya adalah:
Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ary. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najjar tidak lagi seperti wayang yang gerakannya bergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
Adh-Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbutan manusia sama dengan Husain An-Najjar, yakni bahwa manuisa tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia  mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa  suatu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh manusia itu sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yat Tuhan diakhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadis ahad tidak dapat dijadikan symber dalam menetapakan hukum.


2.2 QADARIYAH
  1. Asal-usul Kemunculan Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminology, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini Harun Nasution menegaskan bahwa kau Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manuisa mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar Tuhan.
Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun sebutan tersebut telah melekat kaum sunni. Yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan bekehendak. Menurut Ahmad Amin, sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk Hadis yang menimbulkan kesan negative bagi Qadariyah.
Kapan Qadariyah muncul dan siapa tokoh-tokohnya? Merupakan dua tema yang masih diperdebatkan. Menurut Ahmad bin Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama sekali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri. Adapun Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Usman bin Affan.
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin, member informasi lain bahwa yang pertama sekali munculkan faham Qadariyah adalah orang irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghilan mengambil faham ini. Orang irak yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi  dari Al-Auzai.
Sementara itu W. Montgomry Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan melalaui majalah Der Islam pada Tahun 1933. Artikel ini menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri sekitar Tahun 700 M. Hasan Al-Basri (642-728) adalah tahanan  irak. Ia lahir di sana madinah, tetapi pada tahun 657, pergi ke basrah dan tinggal disana sampai akhir hayat nya. Apakah hasan Al-Basri termasuk orang Qadariyah atau bukan,hal ini memang menjadi perdebatan. Namun,yang jelas. Berdasarkan catatannya yang terdapat dalam kitab Risalah ini buruk. Hasan yakin bahwa manusia bebas memilih antara berbuat baik atau berbuat buruk.
Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan ad-Dimasyqi. Menurut Watt adalah penganut Qadariyah yang hidup setelah Hasan Al-Basri. Kalau dihubungkan dengan keterangan Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-I’tidal, seperti dikutip ahmad amin yang menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar pada Hasan Al-basri, maka sangat mungkin faham Qadariyah ini mula-mula dikembangkan Hasan Al-Bashri. Dengan demikian, keterangan yang ditulis oleh Ibnu Nabatah dalam Syahrul Al-Uyun bahwa faham Qadariyah berasal dari orang Irak Kristen yang masuk Islam dan kemudian kembali kepada Kristen, adalah hasil rakayasa orang yang tidak sependapat dengan pikiran Qadariyah. Lagi pula menurut Kremer, seperti dikutip Ignaz Goldziher, di Kalangan Gereja Timur ketika itu terjadi perdebatan tentang butir doktrin Qadariyah yang mencengkam pikiran teolognya.
Berkaitan dengan persoalan pertama kalinya Qadariyah muncul, ada baiknya bila menijau kembali pendapa Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan untuk menentukannnya. Para peneliti sebelumnya pun belum sepakat mengenai hal ini penganut Qadariyah ketika itu banyak pada pengajian Hasan Al-Basri. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibn Nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama tentang masalah ini adalah seorang Kristen dan Irak, yang telah masuk islam pendapat itu diambil oleh Ma’bad dan Ghailan. Sebagian lain muncul di Damaskus. Diduga disebabkan oleh pengaruh orang-orang Kristen yang banyak dikerjakan di istana-istana Khalifah.
Faham Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras ini, pertama seperti pendapat Harun Nasution, Karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh Faham Fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka selalu terpaksa mengalah kepada keganasan alam, panas yang menyengat seria dan tanah dan gunungnya yang gundul. Mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya. Faham it uterus dianaut kendatipun mereka sudah beragama islam. Karena itu faham Qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya. Faham Qadariyah itu dianggap bertentangan dengan dokterin Islam.
Kedua, tantangan dari pemerintah ketika itu. Tantangan ini sangat mungkin terjadi karena para penjabat pemerintahan menganut faham Jabariyah. Ada kemungkinan juga penjabat pemerintah menganggap gerakan faham Qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai, dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.
2. Doktrin-Doktrin Qadariyah
Dalam kitab Al-Milal An-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang dokterin-dekterin Mu’tazilah, sehingga perbedaaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa dokterin qadar lebih luas dikupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini juga menjadikan salah satu dokterin Mu’tazilah. Akibatnya, sering kali orang menamkan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena keduanya aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang dokterin  Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan Baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri, dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Salah seorang  pemuka qadariyah yang lain. An-Nazzam. Mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya selagi hidup manusia mempunyai daya. Ia berkuasa atas segala perbuatannya.
Dari beberapa penjelasan diatasa dapat dipahami bahwa dokterin Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia  mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu iya berhak mendaptkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang pernah diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak diakhirat, dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak diakhirat, itu berdasarkan pribadinya sendiri bukan oleh takdir Tuhan. Seungguhnya tidak pantas manusia menerima siksaan atau tindakan salah satu yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemauannya sendiri.
Faham takdir dalam pandanga Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umumnya dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertidak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya sejak azali, yaitu hukuman yang dalam istilah Al-Quran adalah Sunatullah.
Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat dirubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang dilautan lepas. Demikian juga, manusia tidak mempunyai kemampuan seperti gajah yang mampu membawa barang berates kilogram, dan lain-lain. Akan tetapi, manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif. Demikian juga anggota tubuh lainnya dapat berlatih sehingga dapat tampil membuat sesuatu. Dengan daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih trampil, manusia dapat meniru apa yang dimiliki ikan sehingga dia dapat juga berenang dilaut lepas. Demikian juga, manusia dapat membuat benda lain yang dapat membantunya membawa barang seberat yang dibawa gajah. Bahakan lebih dari itu. Disinlah terlihat semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia. Suatu hal yang benar-benar tidak sanggup diketahui adalah sejauh mana kebebasan yang dimiliki manusia, siapa yang dapat membatasi daya imajinasi manusia? Atau dengan pernyataan lain, di mana batas akhir kreativitas manusia?
Dengan pemahaman seperti ini, kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyadarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Aliran jabariyah merupakan aliran yang menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyadarkan semua perbuatan kepada Allah dengan kata lain manusia mengerjakan dalam keadaan terpaksa (majbur). Terbagi menjadi 2 yakni Jabariyah Ekstrim dan Moderat. Disebut Jabariyah ekstrim adalah karena pendapatnya bahwa perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari manusia sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Sedangkan yang disebut Jabariyah moderat adalah karena pendapatnya bahwa Tuhan menciptakan manusia, baik itu pasitif/negatif, tetapi manusia memiliki bagian didalamnya .
Aliran Qadariyah merupakan suatu aliran yang mempercayai bahwasanya segala tindakan manusia tidak diinterfersi oleh Tuhan, Manusia adalah pencipta segala perbuatannya, dapat berbuat/meninggalkan sesuatu atas kehendaknya. Dokterin-dokterin aliran Qadariyah diantaranya adalah bahwa manusia berkuasa atas perbuatannya. Manusia melakukan baik ataupun buruk atas kehendak dan dayanya sendiri.
Kedua aliran diatas sangatlah bertolak belakang dalam setiap pendapat dan dokterin-dokterinnya, dan masing-masing memiliki landasan-landasan dari Al-qur’an yang sangat mereka yakini kebenarannya.
3.2 Saran
Tujuan akhir dalam pembuatan makalah ini adalah agar pembaca bisa mendapatkan wawasan pengetahuan khususnya tentang aliran jabariyah dan qodariyah. Keyakinan kepada Tuhan patut kita yakini. Sejarah perkembangan Islam dari masa ke masa wajib kita pelajari. Mempelajari aliran jabariyah dan qodariyah yaitu suatu bentuk apresiasi kita dalam mempelajari perkembangan Islam pada masa dahulu. Setelah membaca dan mempelajari makalah ini diharapkan untuk dapat memahami perbedaan dan keyakinan kedua aliran tersebut sehingga tidak ada kesalahfahaman dan salah pengertian.


















DAFTAR PUSTAKA

Aziz Dahlan. 1987. Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam. Jakarta: Beunebi cipta
Asyiwadie Syukur,LC. 2006. Al-Milal Wa Al-Nihal. Edisi lengkap Asy-Syahrastani. Surabaya: PT Bina Ilmu

SHOLAT BERJAMA'AH DAN KEUTAMAANNYA




SHOLAT BERJAMA’AH DAN KEUTAMAANNYA




Definisi sholat jama’ah

Sholat jama’ah yaitu sholat yang di kerjakan bersama – sama sekurang – kurangnya dikerjakan oleh dua orang yaitu imam dam ma’mum . Cara pelaksanaannya yaitu imam berdiri di depan dan makmum di belakang , ma’mum harus mengikuti perbuatan imam dan tidak boleh mendahuluinya .
Hukum melaksanakan sholat jama’ah adalah sunnat Muakad atau sunnat yang sangat dianjurkan dan lebih baik tidak di tinggalkan , seperti yang terkandung dalam sebuah hadist : “Rosululloh saw bersabda bahwa sholat jamaah lebih utama di banding sholat sendiri dua puluh tujuh derajat .”( HR Bukhori dan Muslim ).


Syarat – syarat sholat jama’ah

1.Menyengaja ( niat ) mengikuti imam .
2.Mengetahui segala yang dikerjakn oleh imam 
3.Jangan ada penghalang dinding antara imam dan makmum.
Kecuali para jama’ah perempuan yang ada di masjid harus di halangi dengan kain ,asal ada salah satu atau sebagian orang yang melihat gerak gerik imam atau ma’mum lain untuk di ikuti .
4. Jangan mendahului atau melambatkan diri dari imam dua rukun fi’li .
5. Jarak antar imam dan m’mum atau ma’mum dengan ma’mum yang terakhir tidak melebihi 300 hasta .
6. Sholat yang di kerjakan ma’mum harus sama dengan sholat yang dikerjakan imam .

Posisi sholat jama’ah sesuai dengan hadist nabi


Dalam melaksanakan sholat jama’ah maka kita harus tahu tatacara selain saf harus lurus , posisi antar imam dan ma’mum juga benar. Perhatikan gambar di bawah ini untuk memahami posisi imam dan ma’mum yang benar sesuai dengan hadist nabi saw :

ket: warna hitam adalah imam dan yang abu – abu adalah ma’mum .

 Keistimewaan Sholat jama’ah
1.Pahala sholat jama’ah 27 derajat lebih utama di banding sholat sendiri .
2.Setiap satu langkah menuju masjid untuk menjalankan sholat jama’ah maka bertambah 1 derajat dan berkurang 1 dosa .
3. Di doakan oleh para malaikat .
4. Memancarkan cahaya di hati .
5. Mendapat balasan yang berlipat ganda .
6. Di bebaskan dari pengaruh setan .
7. Melatih kedisiplinan .

 Kriteria imam yang baik
kriteria imam sesuai dengan yang terkandung di dalam hadist yaitu :
  • Orang yang paling pandai diantara mereka dalam memahami al-qur’an .
  • Orang yang paling banyak hafalannya diantara mereka .
  • Jika hafalan atau pemahaman al-qur’an diantara mereka sama ,maka yang menjadi imam yaitu orang yang paling dahulu hijrahnya ( menjadi orang muslimnya / ketaatannya  )
  • Jika sama – sama waktu ketaatannya maka yang paling tua diantara mereka
Tata cara ketika ma’mum terlambat ( masbuq ) :
  • Apabila ma’mum mendapatkan imam sedang ruku’ dan mengikutinya , maka jika ingin sholatnya dianggap sempurna  ia harus mengikuti imam setelah ruku’ dan mengulangi raka’at itu  dengan alasan raka’at itu tidak sempurna .
  • jika ma’mum mengikuti tasyahud akhir dari salah satu sholat , maka tasyahud akhir yang di lakukan oleh ma’mum tidak termasuk bilangan dari sholat tersebut dan harus menyempurnakan sholatnya setelah imam salam.
Demikian penjelasan mengenai  definisi sholat jama’ah dan keutamaannya secara jelas dan rinci . Semoga kita akan lebih taat lagi dan semangat dalam melaksanakan sholat jama’ah.


Sumber video                  : https://youtu.be/2qQKhPBN4Gw?t=28
Sumber artikel                 : http://warohmah.com/sholat-jamaah/


Posted by: Dia Rafika

JUAL BELI DAN PAPARANNYA

ARTIKEL TENTANG JUAL BELI                                                      Pengertian jual beli             Jual beli ad...